Its about this
story. Kalau dibaca sepintas lalu sepertinya kabar bagus. Tetapi kalo dipikirin lebih jauh lagi, gw jadi sedih banget :(( *hiks*
Dasar perjanjiannya penegakkan haki. Gw ngerti sih tujuannya, ujung-ujungnya pengen seperti india dan china. Bisa mendirikan pusat riset Microsoft, yang dimasa depan akan mendatangkan devisa bagi negara kita. Tapi apa benar bisa begitu ?
Untuk bisa mencapai hal ini pemerintah harus membayar US$ 45 Juta untuk melisensi komputer-komputer yang berada di lembaga pemerintahan. Kalau dirupiahkan dengan kurs Rp. 9.000 jumlah yang dikeluarkan pemerintah menjadi Rp. 405.000.000.000,- atau 405 Milyar rupiah. Thats a lot of zeroes. Dan gw yakin banyak yang berpikir bahwa uang sejumlah itu jauh lebih bermanfaat jika dialokasikan ke sektor lain seperti pendidikan, kesehatan dll. And I Totally agree with that.
Gue rasa keputusan pemerintah kita ini naif banget. Dan menjadi salah satu bukti bahwa mental pemerintahan kita ternyata belum berubah. Mereka mencoba membeli masa depan, mereka berpikir dengan mengeluarkan uang sebanyak itu dengan tiba-tiba negara kita bisa disulap menjadi india yang sumber devisa tertingginya didapat dari IT industri. Beneran naif banget, why, i have my reason.
Yang pertama, untuk benar-benar bisa mendukung hal tersebut butuh dukungan banyak faktor. Universitas2 yang mengeluarkan lulusan berkualitas dibidang IT, infrastruktur pendukung, insentif untuk perusahaan2 start-up, dll. Beberapa hal sudah dirintis, tapi gw bilang sekali lagi Naif banget. Masih banyak yang hanya slogan2 semata, impian tanpa realisasi, birokrasi berbasis sogokan. Menyebalkan.
Yang kedua, efek yang ditimbulkan dengan langkah ini bisa membuat bangsa kita terjajah lagi. Microsoft semenjak beberapa tahun lalu sudah merubah lisensi-nya dari membeli menjadi menyewa. Berarti biaya dikeluarkan untuk membeli lisensi microsoft saat ini harus dikeluarkan lagi saat lisensi tersebut telah habis. Misalkan saja lisensi itu habis dalam jangka waktu 2 tahun dan indosia setidaknya harus mengeluarkan jumlah yang sama (berdasarkan inflasi harusnya lebih mahal). Berarti dalam 2 tahun kedepan industri IT kita harus mampu menghasilkan keuntungan sebesar US$ 90 Juta.
Ok, tidak ada investasi yang dapat kembali dalam secepat itu. Karena industri butuh waktu untuk berkembang. Tapi berapa lama waktu yang dibutuhkan? 2 tahun berikutnya dibutuhkan keuntungan US$ 135 juta untuk dapat impas. 2 tahun berikutnya menjadi US$ 180 Juta, dst. Jadi menuju tahun2 kedepan pendidikan kita semakin menurun karena dananya tersedot ke sektor lain, sdm bermutu yang dihasilkan semakin sedikit, sedangkan dana untuk investasi akan terus mengalir keluar.
Yang ketiga, pemerintah kita mencoba merebut bagian dari kue yang sudah terbagi. India sudah terkenal sebagai raksasa IT. China sudah menerapkan IPv6 untuk jaringan negara-nya, sebuah google research center juga sudah berdiri disana. Indonesia ?? Indonesia dibilang punya potensi untuk menyamai kedua negara itu? Potensi dari mana? Jumlah penduduk saja ? Its not enough.
Gw yakin para pembuat keputusan2 di atas adalah pebisnis handal. Mereka pasti sudah mengenal blue ocean strategy. Apakah bagian kecil dari kue itu harga-nya begitu besar. Atau hanya salah satu cara untuk mengeruk keuntungan pribadi diatas nasib bangsa ?
Yang keempat, dengan keputusan ini berarti hampir semua dokumen pemerintahan akan disimpan dalam bentuk word, excell, powerpoint dll. Yang cara bekerjanya hanya diketahui oleh pihak microsoft. Tingkat adopsi dan kemudahan memang menjadi hal yang layak dipertimbangkan. Tetapi kalau terkait dengan dokumen2 yang 'crucial' bagi negara kita, shouldn't we think more about security? Tidak ada jaminan bahwa dokumen tersebut akan tetap 'aman' dan hanya berada di indonesia. Dikarenakan keterbatasan pengetahuan kita tentang bagaimana cara microsoft menyimpan dokumen2 tersebut.
Yang kelima dan yang paling terpenting. Sebenarnya sekitar 6 bulan yang lalu. Indonesia sudah memiliki sebuah gerakan yang di sponsori oleh MenRistek, Indoesia Goes Open Source atau disingkat IGOS. Tujuan utama-nya adalah untuk meningkatkan kesadaran masyarakat indonesia tentang HAKI. Dengan cara menggunakan software2 open source dilingkungan pemerintah. Diharapkan dengan hal ini kesadaran masyarakat akan meningkat.
Dari segi adaptasi memang aplikasi propetiary memiliki kemudahan, dan tingkat familiaritas yang tinggi dilingkungan user. Tetapi berdasarkan pertimbangan "Bisa karena biasa" solusi ini lebih menjanjikan. Keuntungannya sudah jelas, jumlah uang yang harus dikeluarkan jauuuuuhhhhhh..... h lebih sedikit daripada solusi yang sedang diterapkan pemerintah kita ini. Kemudian di jangka panjangnya user di didik untuk menjadi lebih cerdas, mencari tahu cara bekerja, bahkan mungkin sampai ada yang mencoba membetulkan sendiri, dibanding dengan menunggu orang vendor untuk datang tergopoh2 karena di telp saat lagi bulan madu. Selain itu kita juga punya kendali terhadap proses yang terjadi di balik layar, dan format yang digunakan.
Kekurangan terbesar dari solusi ini kemungkinan besar adalah efisiensi, tapi sejujurnya berapa BUMN di pemerintah kita yang benar2 punya Effisiensi yang critical ? Gw rasa bagi mereka yang tahapnya seperti itu solusi propietiary masih logis. Dan biasanya performance-nya memang mendukung hal tersebut.
Selain ini gerakan ini juga berniat untuk menyediakan sebuah wahana berbasis webservice. Yang memungkinkan antar Departemen dan BUMN dipemerintah untuk saling tukar menukar informasi dengan cepat.
Tetapi dengan perjanjian yang ditandatangani pemerintah ini gerakan itu seperti mendapat hantaman dan mundur 3 langkah. Its such a shame. FYI gerakan IGOS ini didukung oleh Kementrian Riset Dan Tekonologi Sedangkat perjanjian pemerintah dgn microsoft itu didukung oleh sebuah dewan yang beranggotakan 11 Menteri, yang diketui oleh MenKomInfo. Sudah keliatan kan ini perseteruan siapa :D
Sekarang silahkan dipikir sendiri apa yang terjadi seandainya gerakan ini dibiarkan begitu saja, dan kita hanya percaya dengan kata manis yang membungkus perjajian itu.
- Sedih Aku -
Update :
Urgh.. gw tebalik yah? yang support IGOS itu MenRistek Sedangkan yang ikut Dewan Teknologi Informasi dan Komunikasi Nasional itu MenKomInfo. Jadi yang bejat itu MenKomInfo Bukan MenRisTek. Sorry my memory failed me :(, the point still the same.