Pages

Wednesday, July 25, 2007

For Those Who Called Them Selves ... Gods

Dulu ada serial hercules di TV. Sebagian ceritanya menceritakan bagaimana orang-orang berlomba-lomba menjadi dewa. Karena para dewa itu begitu perkasa, bisa tiba-tiba nongol dimana saja dan bisa berbuat apa aja. Dewa-dewa itu digambarkan suka menindas manusia dengan kemampuannya.

Kurang lebih begitulah stereotype penggambaran dewa-dewa, wajar saja begitu banyak orang yang ingin memiliki kemampuan seperti itu. Tetapi kalau saat ini gw diberikan tawaran untuk menerima kemampuan para dewa-dewa itu. I will definitely refuse it without hesitation. Why ? Here's my real story.

Kemaren gw pergi beli makan siang ke depan kantor. Sebetulnya biasa aja sih, seperti hari-hari lain. Karena dikantor sekarang gw sendirian jadi biasanya makanannya gw bungkus dan gw bawa makan dikantor.

Diantara beberapa penjual makanan di depan kantor, ada seorang penjual gado-gado. Ibu-ibu, mungkin sekitar umur 35-40 tahun. Lumayan gemuk hingga tulang siku-nya hampir tertutup oleh lemak dari lengannya, memakai jilbab pendek yang menutupi hingga kebahu.

Kenapa gw tertarik sama penjual gado-gado itu ? Karena di antara para pedagang yang sedang sibuk-sibuknya melayani para pembeli. Ibu itu sedang duduk terdiam menunggu pembeli. Secara gw emang gak terlalu suka sama gado-gado, gw segera nyamperin tukang mie ayam langganan gw.

Sambil menunggu pesanan gw jadi. Kadang2 gw ngelirik ke tukang gado-gado itu, miris aja ngeliat keadaan yang begitu kontras sambil berpikir kok gak ada yang beli yah ? 10 menit berlalu, si ibu di keisengannya beranjak dari tempat duduknya dan menghampiri gerobak dagannya. Hati gw sedikit tersayat-sayat , si ibu ternyata menghitung pendapatannya. Mata gw melihat selembar uang 10 ribuan, dan beberapa lembar uang ribuan. Oh god.. sudah sesiang ini dan dia baru mendapat 20-30 ribu rupiah saja ????

Dalam hati mencoba berpikir, yah namanya orang dagang, mungkin hari ini memang hari 'sepi'-nya dia. Tapi hingga gw kembali ke kantor, gw masih gak bisa menghilangkan perasaan tersayat-sayat tadi. Gw sudah tidak bisa membayangkan lagi, orang-orang yang hidup dengan taraf seperti itu. Karena gw udah kerja disini cukup lama, gw tahu kalo si ibu itu punya dua orang anak yang terkadang suka membantu kalo liburan sekolah. Yang tidak lepas dari kepala gw adalah bayangan bagaimana kalau dia pulang kerumah membawa rejeki segitu aja. Terkadang anak-anak bisa begitu kejam karena mereka masih pure dengan pikiran-pikiran ideal tentang dunia ini. Sehabis bekerja lelah seharian ... ah gak sanggup gw mikirin worst possible situation yang mungkin menanti ibu itu dirumah. Mudah2an aja dia di nanti oleh anak-anak yang baik dan pengertian.

Sedikit banyak mungkin pemikiran gw dipengaruhi oleh pemikiran tentang nyokap. Yah dari postur mungkin ibu itu sedikit mengingatkan gw ke nyokap. Terpikir bagaimana dulu gw sering ribut ama nyokap dari semenjak kecil hingga beranjak dewasa. Sekarang kadang masih juga sih, tapi gw udah lebih banyak menahan diri, dan berusaha membahagiakan nyokap dengan sering-sering ngajak makan dan jalan2. Its not enough, but its the best i can do for now :(

Pikiran gw melayang lagi ke ibu-ibu yang masih bertarung dengan pekerjaan dan juga anaknya. Ibu-ibu yang susah payah, tapi terkadang nasib tidak memberikan keberuntungan. Ibu-ibu yang sampai akhir hayatnya tetap memikirkan anak-anaknya, tetapi mata hati anak-anaknya tetap tertutup rapat. Pahit dan getir sekali :(

Kembali ke kenapa gw menyambungkan hal ini dengan dewa-dewa. Kalau kamu diberikan kemampuan seperti dewa-dewa yang gw gambarkan sebelumnya, kamu juga akan mendapatkan sebuah kemampuan yang bagi gw efeknya terlalu berat. Kemampuan untuk melihat langsung banyak hal di dunia ini. Di saat melihat kejadian di sekitar gw aja, gw udah begitu miris, gak kebayang apa jadinya gw kalau seandainya gw ngeliat hal-hal yang lebih menyedihkan di seluruh pelosok ujung dunia. Bisa-bisa seluruh diri gw hancur berkeping-keping. Dan itulah kenapa pasti gw menolak kemampuan seperti itu !

Cukup membahas hal-hal yang sifatnya imaginer , its time for the real stuff. Sebenernya dewa-dewa itu gak seluruhnya imaginer. Kalo kita ngeliat ke sekeliling, banyak banget manusia-manusia yang sedang berusaha mencapai tahap menjadi 'dewa'. Dengan begitu banyak kekuasaan, kekayaan, dan kepintaran yang berada ditangan 'dewa-dewa' itu, manusia lain benar-benar seperti mainan bagi mereka. Walaupun mereka tidak berada di puncak gunung olimpus, tapi mereka bekerja di sebuah kotak tinggi, berkomunikasi menggunakan kotak kecil di antara mulut dan telinganya, berangkat kekantor dengan kotak beroda, dan pulang kerumah kotak yang dibentengi oleh pagar tinggi. Mungkin ke-isolasi-an ini pula yang membuat hati mereka sudah berubah menjadi kotak, dengan ujung-ujung lancip yang siap menyakiti siapapun.
Secara jujur gw takut. Kalau gw terus mengikuti jenjang nasib ini, gw ikut-ikutan mengejar gelar ke-'dewa'-an seperti itu. Potensi diri yang ada mungkin sekali di pupuk untuk membuat hal-hal seperti itu bukan mimpi belaka. Dan kalaupun gw berhasil mempertahankan diri gw untuk tidak menjadi seperti mereka, kemampuan untuk melihat kepedihan di berbagai pelosok telah menanti untuk menghancurkan jati diri gw.

So god, aku tak tahu seberapa besar hati mu. Mampu menampung jeritan hati orang-orang yang takdirnya telah tertulis dengan kepedihan tak berujung. Mampu mengiringi perjalanan orang-orang yang akhir hidupnya tertulis dengan tinta penderitaan. Aku hanya bisa berharap, kau mendengarkan doa ku, yang menyembunyikan diri untuk tetap menjadi manusia biasa. Semoga saja ibu pedagang gado-gado itu lebih banyak memiliki hari-hari dimana dia pulang dengan wajah berseri-seri atas rejeki melimpah yang diterimanya, dari pada hari-hari dimana dia mengingatkan ku akan kekelaman di dunia ini.

~ineedhelp
~duhHampirGakSanggupNyelesaiinTulisanIni

No comments: